tersesat di Canon Photomarathon

Seperti yang sudah-sudah, kegiatan seperti ini pun luput dari perhatian, dan tidak sempat lagi untuk ikut daftar sebagai partisipan 😛

Canon Photomarathon, sebuah kegiatan yang cukup besar dan melibatkan (katanya) sekitar 1000 orang fotografer ini diadakan di Taman Fatahilah, Kota Tua, Jakarta tanggal 10 Oktober 2009 yang lalu. Tapi walaupun tidak jadi peserta, rasanya tetap ingin ”ngintip” kegiatan ini 😉

Taman Fatahilah itu sendiri adalah area publik, sehingga para penonton pun bisa berseliweran di tengah-tengah para fotografer yang sibuk ”hunting” dan menyelesaikan tugas-tugas yang dilombakan. Acara ini terkesan sangat meriah, apalagi ditunjang dengan cuaca yang cukup bersahabat (dengan kata lain, matahari bersinar dengan riang gembira). Untungnya masih ada pepohonan besar di sekitar Kota Tua dan beberapa tenda, sehingga masih ada space untuk main petak umpet dengan matahari.

Ada 2 lesson learn yang saya peroleh hari itu; pertama – jangan terlalu kuper, kalau mau ikut acara beginian, harus rajin-rajin cari info dan ngobrol sama fotografer yang biasa ikut acara seperti ini. Kedua – presentasi foto yang dibawakan oleh Bp. Don Hasman, seorang jurnalis yang juga fotografer, menambah banyak wawasan tentang fotografi.

Meskipun terlambat mendengarkan presentasi (karena masih ngobrol dan ngaso di Cafe Batavia), serta hanya mendengarkan dari jarak jauh (maklum, status cuma jadi peserta gelap), wawasan yang saya dapatkan dari Bp. Don Hasman kemarin adalah:

  • Fotografi, tidak hanya berarti menggambar dengan cahaya, namun bermakna melukiskan gambar sesuai dengan apa yang dilihat oleh mata kita.
  • Olah digital bukanlah hal yang tabu, sebatas hanya untuk mengoreksi gambar. Akan tetapi kalau digunakan untuk mengubah gambar, menambah atau mengurangi objek, hasilnya sudah bukan ”fotografi” lagi.
  • Fotografi juga bersifat subjektif. Sebagai karya seni tidak ada satu patokan tertentu untuk menyatakan sebuah foto itu bagus atau tidak bagus, karena itu jangan berkecil hati terhadap karya yang dihasilkan.
  • Terus belajar, dan terbuka terhadap masukan dari orang lain. Intinya bersikaplah rendah hati dan jujur.
  • Jangan ragu untuk mulai sesuai yang baru, untuk memotret hal-hal baru atau dari sudut pandang yang berbeda dengan yang biasa dilakukan oleh orang lain.

Sebagai penonton, rasanya kurang sreg kalau tidak ikut bawa kamera dan ikutan jeprat jepret. Tentu saja objek yang menarik adalah macam-macam tingkah polah fotografer di acara ini. Berikut adalah sebagian hasilnya…

Canon Photomarathon

Cerita tentang gambar (dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah):

  1. saling pamer hasil jepretan masing-masing
  2. di depan hall of fame (multitasking, bisa jadi fotografer, bisa juga jadi fotomodel)
  3. isi bis kadang bisa jadi objek foto yang menarik juga rupanya 😉
  4. pakai tripod untuk mempertinggi kamera, pakai egrang untuk mempertinggi fotografer :p
  5. suasana Canon Photomarathon 2009 – Jakarta… crowded!
  6. serius dengan hasil masing-masing
  7. 1001 macam gambar dihasilkan dari 1001 macam gaya, ini salah satunya 😆
  8. biarpun sedang memilah-milah foto untuk disertakan dalam lomba, fotografer harus sadar kamera juga, teteupp… :mrgreen:

Thanks to Ira dan Dirga yang udah ngajak ke acara ini dan ikut menemani sepanjang acara (maaf ya, jadi ngerepotin…) 😀

perubahan iklim?

Postingan ini ditulis sebagai salah satu bentuk partisipasi pada Blog Action Day yang jatuh pada tanggal 15 Oktober. Tema yang diangkat pada tahun ini adalah mengenai perubahan iklim (climate change).

Kadang saya melihat isu perubahan iklim ini lebih sebagai suatu wacana yang ada di awang-awang, di luar pemahaman saya sebagai orang yang masih sangat awam soal lingkungan hidup.

Hal-hal seperti pemanasan global, efek rumah kaca, menipisnya sumber daya air, dan berbagai isu perubahan iklim lain yang memang saling berkaitan itu seakan berada di luar kegiatan kita sehari-hari. Sepertinya informasi tersebut hanya sekadar pengetahuan belaka tanpa dapat dikaitkan langsung dengan aktivitas masyarakat yang lebih luas.

Contohnya, kita tahu bahwa bahan jumlah air tanah khususnya di kota-kota besar semakin berkurang, namun kegiatan pembangunan perumahan atau jalan tetap giat dilaksanakan dan bahkan mengambil area daerah-daerah hijau yang tadinya merupakan daerah resapan air. Akibatnya, untuk bisa mendapatkan air tanah yang baik dan jernih, perlu digali sumur yang sangat dalam.

Perubahan iklim sebenarnya cukup luas dampaknya, termasuk juga dengan fenomena banjir yang makin sering terjadi akhir-akhir ini. Kalau dipikir, banjir tidak hanya terjadi karena adanya pemanasan global yang membuat es di kutub utara mencair, sehingga volume air di bumi makin banyak; namun secara sederhana kita tahu bahwa banjir terjadi karena saluran-saluran air di jalan-jalan sudah tidak menampung banyaknya air hujan yang turun, karena tersumbat oleh sampah-sampah yang dibuang sembarangan oleh para pengguna jalan. Memang hal ini bukan sebuah sebab-akibat sederhana, namun jika kebiasaan tsb terus dilakukan, bukan hal yang aneh kalau selokan-selokan jalan, sungai-sungai yang melintas di perkotaan menjadi sebuah tempat sampah raksasa dan menghambat aliran air/sungai.

Dari hasil pengembaraan di ranah virtual, mencari informasi tentang topik perubahan iklim ini, ada sebuah ungkapan yang menyatakan seperti ini … “dunia lebih banyak memperdebatkan upaya apa yang harus dilakukan untuk mencegah bumi dari kehancuran, ketimbang melakukan aksi nyata.” Secara sederhana, saya juga merasakan hal yang sama… kita mengetahui atau banyak berdiskusi soal “let’s go green” dsb, namun sudahkah kita melakukan sesuatu untuk mengatasi bahaya perubahan iklim guna mencegah bumi dari kehancuran? Diskusi soal ini seringkali hanya menghasilkan wacana indah dan menarik, namun kadang tidak sampai pada tahap implementasi dan berakhir begitu saja.

Mungkin belum terpikir oleh kita bahwa kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita lakukan dapat pula berdampak pada perubahan iklim. Membuang sampah pada tempat yang telah ditentukan, menggunakan sumber daya (misalnya air, listrik, dsb) sehemat mungkin, membawa kantong sendiri saat berbelanja (dan tidak menggunakan kantong plastik), dsb sebenarnya dapat berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi.

Bahkan menghabiskan makanan yang ada di piring makan kita, secara tidak langsung ada pula pengaruhnya 😉 Awalnya, saya juga tidak terlalu paham, tapi sebuah penjelasan yang masuk akal telah membantu pemahaman saya. Seandainya saja makanan yang kita sisakan di piring makan itu dikumpulkan, mungkin jumlahnya pun hanya sekitar setengah sendok makan saja, namun berapa banyak energi yang telah dikeluarkan untuk menghasilkan nasi yang setengah sendok makan tsb? Berapa banyak air yang dikeluarkan untuk mencuci beras, dan berapa banyak listrik yang dipakai untuk memasaknya? … dan silakan dikalikan jumlah orang makan selama satu bulan, hmm… 🙂 dan itu adalah yang terbuang percuma…

Mungkin sebelum kita bicara soal perubahan iklim, kita perlu bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita menyayangi lingkungan di sekitar kita?