transformasi yang berdampak

Tidak seperti yang umum terjadi di berbagai organisasi, town hall meeting kemarin diselenggarakan di akhir bulan Agustus, mengakhiri caturwulan kedua tahun ini. Sebetulnya bukan hal yang aneh dengan penjadwalannya, namun setelah melewati masa pandemi dengan berbagai perubahan yang terjadi, acara kali ini tetap jadi sesuatu yang ditunggu-tunggu.

Benar saja, dengan dilatarbelakangi kondisi eksternal organisasi serta meluruskan berbagai berita simpang siur tentang kondisi internal organisasi yang seringkali hanya berakhir dengan “gosip” yang tak jelas kebenarannya – town hall pun digelar dengan tujuan memberikan arahan mengenai visi dan misi organisasi saat ini. Banyak kebiasaan-kebiasaan lama yang sudah selayaknya harus ditinggalkan dan diganti dengan cara-cara baru yang lebih sederhana namun jauh lebih punya makna terhadap kemajuan organisasi.

Transformasi – itulah kata yang digaungkan saat itu, sebuah kata yang seringkali terdengar klise… sambil membayangkan proses transformasi ulat-kepompong-kupu-kupu 🙂

Proses transformasi tidak hanya terjadi di organisasi, tapi juga terjadi di setiap anggota organisasi, terjadi di diri kita masing-masing. Terkadang tanpa disadari, kita bertumbuh karena adanya dorongan dari luar diri, saat kita perlu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Sebut saja pada masa pandemi, daya adaptasi yang kita miliki bekerja agar dapat survive menjalani perubahan cara kerja maupun cara berinteraksi, baik dengan tim atau juga dengan orang lain diluar tim/organisasi. Proses transformasi tersebut ternyata telah kita jalani, meski tanpa kita menyadarinya.

Ternyata tidak sesederhana itu, karena proses transformasi yang diharapkan terjadi adalah tranformasi punya nilai lebih, atau dengan kata lain… transformasi yang berdampak.

Proses kita menyesuaikan diri dengan kondisi atau tuntutan lingkungan tidak serta merta membuat kita menjadi mahir dalam bertranformasi, karena yang kita lakukan hanya mengikuti arus atau hanya sekadar bertahan menghadapi tantangan yang terjadi saat ini saja. Kalau pun ada dampak yang terjadi, sepertinya hal itu baru dirasakan oleh diri kita sendiri, atau setidaknya oleh lingkungan terdekat kita, keluarga kita, atau tim kerja kita.

Bukan hal yang salah, namun dengan pesatnya perkembangan yang terjadi saat ini, gerak langkah yang kita lakukan tidak bisa hanya untuk lingkup diri kita saja. Perlu ada langkah atau mungkin juga loncatan pemikiran yang lebih kreatif agar dapat diaplikasikan untuk lingkup yang lebih luas lagi. Hal ini juga yang dibahas dalam town hall meeting kemarin, transformasi berdampak-lah yang menjadi arah baru yang ingin dicapai.

Dari proses adaptasi (sebagai proses awal dari transformasi) yang saya lakukan selama ini, adakah yang bisa dikatakan sebagai proses yang “berdampak”? Entahlah, mungkin memang sulit untuk menilai diri sendiri, tapi setidaknya jika kita merasakan ada sebuah manfaat yang bisa diambil dari suatu kegiatan yang telah kita lakukan, mudah-mudahan manfaat itu pun dapat dirasakan oleh lingkungan di sekitar kita.

yuk sharing…

Tetiba ditanya tentang hal apa yang bikin diri kita merasa “re-charge”….

dan ini sudah hari kesekian… belum terpikir juga, apa sih sebenarnya yang bikin merasa “re-charge”?

Mencoba berbagai cara, salah satunya dengan membuka-buka kembali album lama, me-recall pengalaman akhir-akhir ini, mulai tergambar bahwa kesenangan yang amat sangat itu makin terasa ketika bisa berbagi dengan orang lain. Tanpa sadar, ada hal yang menggembirakan saat bisa memberi atau melakukan sesuatu untuk orang lain.

Mengingat kembali beberapa hal yang telah dilakukan selama pandemi ini, ternyata ada beberapa kegiatan “berbagi” yang pernah saya lakukan, diantaranya adalah menjadi volunteer subtitle pada beberapa video Darul Arqam Studio dan TED Indonesia. Kalau ini awalnya hanya hobi, tapi saat sudah selesai dan menjadi bagian dari video publik, ada rasa senang terselip disana karena bisa sedikit berkontribusi di dalamnya. Sama juga saat menjadi volunteer typist dalam program pengembangan yang diselenggarakan oleh Teman Inklusi Klobility (TIKO), senang saat bisa membantu menjadi jembatan buat teman-teman tuli untuk lebih memahami materi yang disampaikan.

Ternyata dulu pun saya pernah melakukan hal serupa. Aktif sebagai volunteer reading service (bisa lihat disini) dan membantu membuat e-book di Yayasan Mitra Netra. Kegiatan berbagi ini selalu menyenangkan dan membuat ingin melakukannya lagi dan lagi….

Rasanya bukan hal besar yang telah saya perbuat, namun bisa melakukan sesuatu untuk orang lain selalu melahirkan rasa bahagia dan menghapus segala penat yang terasa akibat pekerjaan-pekerjaan kantor yang banyak menyita waktu.

Mau mencoba?

tulisan sang penari

Lincah…. itu kesan pertama yang terlintas saat membaca tulisan seorang teman lama. Seorang wanita berdarah seni yang senang menari sejak kecil. Meski pertama kali bertemu bukan dalam rangka berkesenian, namun pengalaman berinteraksi dengannya membuat saya mengenal dia sebagai orang yang sangat mendedikasikan diri dalam dunia tari menari.

Beberapa waktu lalu sempat ada kabar tentang keinginannya untuk menulis, dan ternyata dia cukup menunjukkan komitmennya untuk menulis. Setelah agak lama tidak mengikuti kabar berita tentangnya, hari ini saya membaca cerpennya. Sebuah cerita pendek tentang secuplik pengalamannya, yang juga masih terkait dengan kegemarannya menari.

Tulisannya begitu hidup, bercerita dengan alur yang menarik, sama lincahnya dengan gerak gemulai langkah penari. Membaca tulisannya seperti ikut serta di dalamnya dan turut merasa emosi yang menyertainya.

Kemudian,

Bisakah menulis yang seperti itu? Nulis aja dulu… Sepertinya kuncinya ada di konsistensi dan persistensi 🙃

tentang Etika

Masih tentang Etika….

Beberapa hari lalu saya sharing tentang Etika dalam forum terbatas, pada teman-teman di WAG Teman Inklusi Klobility. Ketika itu saya membahas tentang Pentingnya Etika dalam menggunakan Media Sosial.

Hari ini saya membaca postingan JK lagi-lagi soal Etika, disini. Ini mengenai Etika dalam melakukan wawancara, tentang aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan jika akan melakukan proses wawancara.

Dari dua kejadian itu, entah kenapa saya jadi merasa etika yang merupakan bagian penting dalam setiap aspek kehidupan manusia itu menjadi sesuatu hal yang kurang terperhatikan saat ini. Padahal dari materi yang tercakup dalam kedua pembahasan itu bukanlah sesuatu yang baru, bukan pula sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan.

Membaca kembali soal Etika yang disampaikan JK serta materi yang saya siapkan kemarin itu, sebenarnya saya juga merasa bahwa hal-hal yang sudah pernah diketahui secara khatam itu kadang tetap harus diingatkan kembali.

Kenapa? Karena saking sudah terbiasanya kita dengan hal-hal tersebut, serta sudah merasa fasihnya melakukan semua itu, kita merasa sudah expert sehingga merasa bahwa yang dilakukan sudah benar.

Padahal saat menelaah kembali etika tersebut, ternyata masih ada beberapa detail yang belum dilakukan secara sempurna. Misalnya saat menggunakan bahasa di media sosial dengan menggunakan istilah yang hanya dikenal bagi kalangan terbatas, bisa fatal karena dapat mengundang salah persepsi. Atau ketika kurang membaca CV interviewee sebelum melakukan wawancara, tentunya juga bisa membuat proses wawancara berlangsung secara kurang efektif dan efisien.

Ternyata etika itu memang perlu selalu diingat, dibaca kembali, dan tentunya giat diimplementasikan dalam setiap kegiatan yang terkait. Karena setiap hal yang telah kita pelajari dulu bisa berangsur-angsur hilang atau berkurang kadarnya tanpa kita sadari.

Apalagi soal etika, sesuatu yang terkait dengan nilai-nilai benar-salah, baik-buruk, dan tanggung jawab yang menjadi standar serta penilaian moral dalam masyarakat.

Rapijali

Buku pre-order ini datang jumat siang, pas sekali untuk menutup rangkaian hari kerja di minggu ini. Sepintas berdasarkan penampakannya, buku ini tidak setebal buku Dee sebelumnya, Aroma Karsa. Namun demikian hal ini tidak menyurutkan niat untuk segera mulai membaca.

Rasanya ekspektasi sebelum membaca Rapijali membuat saya akhirnya memberi nilai B saja pada bukunya. Seperti yang sudah dijelaskan pada awal buku/, disini tidak akan ditemukan unsur-unsur “science fiction” atau hal-hal berbau supranatural yang sedikit banyak mewarnai buku-buku Dee sebelumnya. Tetapi sebagai sebuah novel, alur cerita di buku ini mengalir lincah dengan tata bahasa yang rapi namun tidak kaku. Hal ini yang saya sukai dari karya-karya Dee. Bahasa keseharian yang diwarnai dengan cerita tentang situasi yang tersusun lengkap, membuat novel ini jadi tidak membosankan untuk dibaca.

Setelah menyelesaikan membaca Rapijali ini, terasa ada yang masih menggantung, ibarat cerita bersambung yang belum selesai. Memang di beberapa bagian tertulis Rapijali 1 (yang kalau dipikir, mungkin akan ada Rapijali 2, bahkan mungkin 3), tapi cover depan bukunya hanya bertuliskan “Rapijali” saja. Sedikit berbeda dengan seri Super Nova yang meskipun berjilid-jilid, namun setiap buku sudah tuntas bercerita tentang tokoh utama. Hmm… ini dia ekspektasinya yang terlalu jauh 🙂

apresiasi

Sebuah self reminder yang diambil dari halaman fb-nya Ferlita Sari hari ini….. benar-benar mengena…..

Yang patut dikasihani adalah mereka yang tidak bisa mengapresiasi karya orang lain, tidak bisa mengakui keberhasilan orang lain.

Mengapa mereka perlu dikasihani, karena biasanya mereka juga miskin apresiasi dalam hidupnya. Mungkin dibesarkan di keluarga yang tidak punya budaya memberikan apresiasi.

Yang patut dikasihani adalah mereka yang selalu melihat lebih dulu hal negatif ketimbang hal positif. Mudah menemukan hal negatif pada diri orang lain dan sulit sekali menemukan hal-hal positif dari orang lain.

Mungkin hanya itu yang mereka pelajari sepanjang hidupnya, sehingga itulah yang mereka punya.

Yang juga patut dikasihani adalah mereka yang punya standar ganda. Hal yang sama boleh saya lakukan, namun tidak boleh dilakukan orang lain. Kalau saya lakukan karena saya punya alasan yang tepat. Sementara orang lain tidak boleh melakukan dengan alasan apapun.

Mungkin mereka hidup dalam kebingungan norma yang berkepanjangan.

Perbanyak istighfar, semoga kita terhindar dan mampu mengikis sifat-sifat ini.

Couldn’t agree more….

Thanks to Ferli 🙏 Alhamdulillah atas ketidaksengajaan membaca tulisannya yang langsung menggugah untuk bertanya pada diri sendiri,

“Sudahkah saya memberikan apresiasi pada orang lain hari ini? Dan… apakah saya juga sudah memberikan apresiasi buat diri sendiri?”

Ketika rezeki kita habis, maka ajalpun tiba

Sebuah self reminder yang didapat dari postingan seorang teman di FB, yang sayang untuk dilewatkan begitu saja….

—————————

Ketika rezeki kita habis, maka ajalpun tiba…

Jangan pedulikan jasadmu yang akan busuk & hancur!! …  
Kaum muslimin akan melaksanakan kewajiban mereka:
1. Memandikan mu
2. Mengkafani mu
3. Menyolati mu
4. MENGUBURKAN MU.

Yakinlah!!! bahwa:
Dunia tidak sedih karena KEMATIANmu

Alam semesta tidak berduka atas kepergianmu
Segala sesuatu akan berjalan seperti biasa dan tidak berubah dengan perpisahan mu!
Perekonomian akan terus berputar
Pekerjaanmu, akan digantikan orang lain
Hartamu akan pindah tangan secara halal kepada ahli waris
Sementara Anda yang akan di HISAB atas segala sesuatu hingga perkara yang besar sampai dengan hal yang paling kecil.

Yang pertama lepas darimu adalah nama mu..
Saat Anda meninggal dunia: Orang-orang bertanya: Dimana MAYATnya? Mereka tidak lagi memanggilmu dengan namamu.. Namamu tinggal kenangan belaka.

Ketika mereka akan mensholati, mereka bilang: Bawa sini JENAZAHnya.!!! Mereka tidak lagi menyebutkan namamu.. Betapa cepat namamu hilang berlalu….

Ketika mereka akan menguburkan mu, mereka berkata: Dekatkan MAYITnya.!! tanpa menyebutkan namamu..

Karena itu… 
Janganlah tertipu oleh kehormatan, status sosial dan kelebihan kelompokmu..!!
Jangan terperdaya oleh kedudukan, jabatan dan nasab keturunanmu…!!

Alangkah sepelenya dunia ini… dan betapa besar apa yang akan kita hadapi…

Kesedihan orang atas kepergianmu ada 3 :
1. Orang yang mengenalmu sepintas akan mengatakan: Kasihan…!!

2. Teman dan sahabatmu akan bersedih beberapa saat atau beberapa hari, kemudian mereka kembali pada rutinitas dan canda tawa mereka..

3. Kesedihan mendalam di rumah… Keluargamu akan bersedih sepekan… satu-dua bulan atau hingga satu tahun… Kemudian mereka akan meletakkanmu dalam album kenangan…

Demikianlah…
Kisahmu di antara manusia telah berakhir…

Anda hanya tinggal ALBUM KENANGAN.

Kisahmu yang sebenarnya baru dimulai… bersama sesuatu yang nyata, yaitu: Alam Akhirat

Telah lepas darimu:
1. Ketampanan/Kecantikan
2. Harta, Rumah
3. Kedudukan/Jabatan
4. Anak
5. Istri/Suami

Kehidupanmu yang sesungguhnya baru dimulai

Pertanyaannya sekarang adalah :

Apa yang telah Anda siapkan untuk kubur dan akhirat mu.????? Ini adalah KENYATAAN yang akan terjadi dan perlu direnungkan.!!

Cek ibadahmu… yang wajib dan yang sunnah..
Cek Amal sholeh dan Sedekahmu..
Cek perilaku dan tingkah lakumu..

Semoga kita semua menyiapkan bekal utk kehidupan yg kekal.. Dan Selamat di Akhirat..